Kurikulum dan Pedagogi dalam Pendidikan Arsitektur

Ideas
2 weeks ago

Selama lebih dari dua puluh lima tahun, saya telah menyaksikan bagaimana kurikulum yang direncanakan dengan cermat dapat menjadi kurang efektif apabila tidak disertai pendekatan pedagogi yang matang. 

Words by David Hutama

Oleh David Hutama


Kurikulum berfokus pada materi atau cakupan, urutan dan isi dari sebuah program yang diajarkan, sedangkan pedagogi berkaitan dengan bagaimana materi ini itu diajarkan serta disampaikan pada peserta didik. Dalam dunia arsitektur, perbedaan ini sangat penting karena dapat mempengaruhi kreatifitas, pemikiran kritis, pengalaman praktik langsung, dan pemahaman konseptual yang mendalam. Sebuah kurikulum komprehensif mungkin saja mencantumkan perkuliahan sejarah desain, konstruksi berkelanjutan, dan fabrikasi digital. Namun, jika metode pengajarannya tidak mampu melibatkan mahasiswa secara aktif, potensi kurikulum tersebut tidak akan sepenuhnya terwujud.

Pedagogi adalah seni, ilmu, dan praktik mengajar. Pedagogi mencakup tata kelola di studio desain, cara memberi kritik, serta keseimbangan antara latihan teoretis dan praktis. Salah satu contoh terkenal adalah Vorkurs (Foundation Course) di Bauhaus pada awal abad ke-20. Meskipun kursus tersebut memiliki tujuan tematis yang jelas yaitu mengeksplorasi material, teori warna, dan pemahaman bentuk, namun keunggulan utamanya terletak pada cara pengajarannya. Melalui aktivitas yang menyenangkan dan berorientasi pada proses, sehingga memicu penemuan dan kreativitas. Pendekatan ini berbeda dari model pendidikan yang hanya bertumpu pada ceramah atau metode hafalan. Para mahasiswa Bauhaus tidak hanya memahami materi secara teoretis, tetapi juga melibatkan diri secara fisik dan intelektual, hingga mereka mampu mengembangkan cara berpikir adaptif dan inovatif. 

Adapun contoh lain praktek menarik lain pedagogi Arsitektur yaitu Rural Studio di Auburn University. Rural Studio memberi kesempatan bagi mahasiswa untuk tinggal di lingkungan pedesaan sambil merancang dan membangun proyek. Meskipun kurikulum di sana merumuskan topik desain berkelanjutan dan keterlibatan komunitas, pendekatan pedagogi yang imersif dan berorientasi pada pengalamanlah yang membuat pengalaman belajar menjadi transformatif. Dengan bekerja sama langsung bersama warga setempat, mahasiswa memupuk empati, belajar merespons kebutuhan pengguna secara langsung, serta mengembangkan strategi pemecahan masalah yang tidak dapat diwujudkan bila hanya melalui kuliah di dalam kelas. Demikian pula, Virtual Design Studios di MIT yang memanfaatkan teknologi digital untuk menghubungkan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia, memperkuat kolaborasi kompetensi teknologi dan keterampilan. Sesi diskusi online secara rutin, pin-up digital, serta umpan balik berkelanjutan membuat mahasiswa terlibat aktif, sehingga materi benar-benar melekat dan tidak sekadar menjadi konsumsi sepintas.

Contoh-contoh diatas menegaskan bagaimana kualitas pengajaran dalam arsitektur sangat dipengaruhi oleh pilihan pedagogisnya . Konsep disiplin yang berbasis studio, belajar melalui praktik adalah hal mendasar. Mahasiswa yang didorong untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kedalaman konseptual umumnya lulus dengan portofolio yang lebih baik dengan kemampuan analisis, pemecahan masalah, serta kesiapan professional. Sebaliknya, jika sebuah institusi hanya mengandalkan kurikulum yang baik namun tetap menggunakan metode pengajaran yang usang atau pasif, maka mahasiswa kemungkinan tidak akan termotivasi. Mereka mungkin menghafal konsep-konsep utama hanya demi lulus ujian, tetapi gagal membangun fondasi pengetahuan yang utuh sehingga potensi kreativitasnya terhambat. Abai dalam sinkronisasi pedagogi dapat berakibat kurang baik yaitu mahasiswa mungkin berakhir dengan pemahaman yang dangkal, keterampilan yang tidak terpadu, dan kapasitas terbatas untuk beradaptasi dengan teknologi baru atau tantangan desain yang kompleks.


Keadaan ini semakin dipersulit oleh tradisi yang mengakar dalam pendidikan arsitektur serta keterbatasan sumber daya. Model “master-apprentice” yang ditandai dengan kritik panjang dan hubungan hierarkis masih menjadi andalan di banyak studio, kadang memperkuat rasa takut alih-alih bertumbuh. Bahkan ketika dosen dan pengelola menyadari perlunya pendekatan yang lebih interaktif dan suportif, keterbatasan dana dan infrastruktur dapat menghalangi adopsi teknologi baru seperti realitas virtual, laboratorium fabrikasi tingkat lanjut, atau bimbingan dalam kelompok kecil. Metode penilaian dibidang desain juga menghadirkan tantangan tersendiri. Kreativitas dan inovasi tidak dapat diukur dengan tes pilihan ganda; karena itu, pendidik harus menyeimbangkan penilaian subyektif dengan rubrik yang objektif. Beberapa institusi seperti Bartlett (UCL) dan ETH Zurich telah berupaya menciptakan inovasi dalam penilaian, misalnya dengan kriteria berbasis rubrik, demi memberikan kejelasan tanpa membatasi kebebasan berkreasi, meski praktik ini tetap memerlukan penyesuaian berkelanjutan.

Pada akhirnya, pelajaran dari berbagai eksperimen ini menunjukkan bahwa pedagogi dapat menjadi faktor penentu keberhasilan atau kegagalan sebuah kurikulum. Metode pengajaran yang cermat dan adaptif dengan kurikulum paling visioner sekalipun akan kesulitan menjaga minat mahasiswa atau menumbuhkan keingintahuan intelektual. Akibatnya, lulusan mungkin hanya menguasai pengetahuan di atas kertas namun kekurangan keterampilan nyata dan sudut pandang kritis yang amat diperlukan dalam dunia arsitektur modern. Sebaliknya, dengan menerapkan pedagogi yang menitikberatkan pada keterlibatan aktif, refleksi, dan pembelajaran iteratif, mahasiswa berpeluang menjadi profesional inovatif yang sanggup merespons konteks desain yang kompleks dan lanskap teknologi yang terus berubah.


Pendidikan arsitektur mencapai kekuatan maksimalnya ketika kurikulum dan pedagogi berjalan sinergi dan beriringan. Namun, sinergi antara keduanya masih menyisakan berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana teknologi baru akan mengubah model studio “master-apprentice” yang tradisional? Penilaian seperti apa yang dapat menghormati kreativitas sekaligus memberikan umpan balik yang bermakna? Inovasi dan kolaborasi digital berbasis desain  komunitas dapat memperkaya pedagogi di masa depan?
Mungkin, masa depan pengajaran arsitektur terletak pada kesediaan kita untuk terus menggali dan memelihara pertanyaan-pertanyaan ini, sambil terus menyesuaikan metode kita sesuai dengan perkembangan profesi dan tantangan yang dihadapi.

 

Related
Ideas
3 years ago
98 Memory Lane: Monumen Kerusuhan Mei 1998
Design Public Spaces
Ideas
3 years ago
USU Student Activity Center
Design Student Projects
Ideas
2 years ago
Nenun Ruang Student Project Submission
Design Education
168 Comments
A
Login to leave a comment. Sign In ?