Perjalanan Menembus Ruang Andra Matin 02 - Masa Belajar di Unpar

Ideas
2 years ago

Mungkin ya, dalam arsitektur saya menemukan sesuatu yaitu ketidakjelasan. Menembus ketidakjelasan - menembus ruang ... Ada kejutan-kejutan yang bisa kita dapatkan dalam perjalanan menembus ketidakjelasan ini. Arsitektur menurut saya seperti itu.

Words by David Setiadi

Apa yang membuat mas Aang tertarik di Arsitektur?

Saya juga kurang paham - tanpa disadari. Sebetulnya ada ketidaksengajaan.

Pilihan ini muncul dari  hasil psikotes waktu kelas 3 SMA untuk menentukan kecocokkan kuliah di jurusan apa. Cita-cita saya sendiri kalau tidak seperti bapak (kuliah) di FSRD (Fakultas seni rupa dan desain) atau di (jurusan) Planologi. Rasanya melihat kota dan urbanitas itu kok saya senang. Lalu dari hasil psikotes kelas 3 sma itu ternyata yang paling baik buat saya adalah jurusan arsitektur atau kedokteran. Sepertinya keduanya punya kesamaan yaitu sama-sama berhubungan dengan orang. Ternyata aspek itu rasanya cukup punya daya tarik buat saya; ke manusia, bukan ke binatang atau barang.

Jadi waktu lulus, agak sok tau sih, dulu kan ada jalur Perintis 1 atau PMDK dan saya cuma pilih jurusan Planologi ITB dan Kedokteran Unpad karena direkomendasikan tadi. Namun, karena jurusan arsitektur juga direkomendasikan, jadi iseng-iseng saya coba daftar jurusan arsitektur Trisakti, jurusan Lansekap Trisakti, jurusan Teknik Arsitektur Unpar, dan juga jurusan Seni Rupa ITB. Dulu kan bisa pilih jurusan kelompok IPA atau Sosial, tapi waktu itu saya tidak coba untuk kelompok sosialnya.

Akhirnya di jurusan Planologi ITB tidak  diterima, di jurusan Seni Rupa ITB juga tidak diterima, di Jurusan Arsitektur Trisakti diterima, di jurusan Lansekap Trisakti diterima, Jurusan Arsitektur Unpar diterima, dan jurusan kedokteran Unpad juga diterima. Dari jalur PMDK, cuma diterima di jurusan Kedokteran Unpad.

Terlepas dari pilihan jurusan, yang pasti adalah saya selalu ingin kuliah di Bandung. Mungkin karena lahir di Bandung, jadi tiap kali bulan puasa selama liburan sekolah sebulan, saya selalu dititipkan  oleh ayah dan ibu untuk ikut sama kakek nenek di Bandung. Dari pengalaman ini, saya jadi suka sekali dengan Bandung. Jadi akhirnya (karena keinginan untuk kuliah di Bandung tadi) pilihan saya kalau tidak pilih jurusan Kedokteran Unpad atau jurusan Arsitektur Unpar.

Jurusan Kedokteran itu pasti lebih murah, tapi saya lebih condong ke jurusan arsitektur karena saya takut lihat darah. Lalu saya bilang ke ibu, “Mah kuliah di jurusan kedokteran pasti lebih murah, tapi aku lebih suka arsitektur dan jurusan arsitektur mungkin lebih mahal.” Ibu saya cuma jawab “Apapun yang kamu pilih mama akan carikan uang buat kamu sekolah. Terserah kamu lah kamu pilih apa.” Akhirnya ya saya ambil jurusan arsitektur di Unpar.

 

Kalau ingat pengalaman saya waktu dulu pertama kali mau mendaftar di jurusan arsitektur Universitas Parahyangan, Saat itu bayangan saya masuk ke jurusan arsitektur itu selalu soal  bangunan, gambar bangungan, dan menggambar. Nah saat Mas Aang akhirnya memutuskan untuk mendaftar jurusan arsitektur sudah terbayang belum arsitektur ini ‘mahluk’ apa?

Tidak terlalu tahu juga. Saya cuma merasa seperti masih ada relasinya dengan hal-hal yang saya sukai. Jadi waktu SMA, saya suka sekali pelajaran Menggambar Teknik – menggambar lewat metode proyeksi  – jadi ada benda, lalu digambar Tampak, Denah dan sebagainya. Pelajaran lain yang saya suka adalah ekstrakurikuler fotografi. Saya ikut ekstrakuriler ini karena suka dengan komposisi, dan cahaya. Kesukaan ini mungkin secara tidak langsung juga terbangun karena memperhatikan ayah saya menggambar tiap hari. Dalam gambar kan pasti ada komposisinya kan? Jadi ya mungkin hal-hal ini jadi bagian dari pendorong minat.

Namun pastinya pada saat saya daftar, bayangan yang ada adalah hampir semua mata kuliah utamanya tidak perlu belajar di jurusan arsitektur. Nah itu dia! Kalau di jurusan lain pakai belajar kan? Kalau di jurusan arsitektur seperti hanya ‘main-main’ saja sambil belajar komposisi dan sebagainya. Makanya mata kuliah yang perlu belajar, pasti nilai saya buruk seperti Mekanika Teknik, Matematika, Fisika. Mata kuliah ini sudah pasti buruk deh -  jelek. Cuma kalau mata kuliah perancangan, ok lah. Tidak jelek-jelek amat.

 

Baru saja saya mau tanya apakah ada mata kuliah yang sulit  lulus  semasa kuliah dulu?

Ya mata kuliah-mata kuliah yang seperti itu. Bahkan dulu jumlah sks mata kuliah itu 164 sks dan saya selalu tidak lulus-lulus mata kuliah-mata kuliah seperti Mekanika Teknik 2 dan Matematika 2. Nah waktu itu ada pengurangan sks jadi 144, jadi kebetulan saya ‘buang’ saja kedua mata kuliah ini.

 

Dan kalau mata kuliah perancangan lancar?

Ya tidak masalah. Walau saya juga tidak seperti teman-teman yang pada gila-gila kalau menggambar. Kalau saya cuma gambar 5 lembar, mereka bisa gambar 20 lembar.

 

Kalau bicara kuliah di masa 1980-an (Andra Matin terdaftar di Jurusan Teknik Arsitektur Unpar tahun 1981), apa yang menurut Mas Aang paling beda dengan kondisi belajar arsitektur saat ini?

Saya rasa di Unpar waktu itu dunia-nya terlalu soal gambar teknik, terlalu engineering. Bahkan pas tahun-tahun terakhir saya merasa seperti drafter, tidak tahu deh kalau sekarang bagaimana. Saya bisa merasa begitu karena punya teman-teman yang berkuliah di kampus lain seperti Yori (Yori Antar) dan Anto (Irianto PH) di jurusan Arsitektur UI. Mereka sepertinya lebih ‘santai’. Atau kalau lihat teman-teman di jurusan arsitektur ITB waktu itu kelihatannya menggambar itu tidak usah ‘persis-persis’. Ini bagian yang kalau kata dalam bahasa sunda nya itu “kukulutus” atau kesel. Ngedumel, kenapa sih gambar kami harus seperti itu.

Namun sekarang yang saya rasakan jadi seperti seorang anak yang dulu suka marah-marah ke ibunya, lalu setelah ibunya meninggal baru sadar bahwa  apa yang dulu sering dikatakan ibunya itu ternyata benar. Nah saya merasa seperti itu sekarang. Ternyata yang dulu diajarkan di Unpar dulu itu banyak benarnya -  ternyata tidak salah tuh dipaksa belajar seperti itu karena banyak juga yang saya dapatkan. 

Selama masa kuliah, saya juga belajar banyak dengan kang Pur (Purnama Salura, salah satu dosen senior di Jurusan Teknik Arsitektur Unpar saat ini).

 

Maksudnya bekerja sambil kuliah?

Iya kerja. Kalau Kerja Praktek nya, dulu saya di Arkonin.

Kejadiannya itu waktu semester 2, Kang Pur bilang,

“eh lu mau gak duit tambahan?” .

“ngapain Kang Pur?”,

“Bantuin di biro gue. Lu gambar nanti dibayar selembar berapa. Kan lumayan buat nambah-nambah jajan.”

Dan ya kebetulan saya lagi kurang uang.

Jadi selama masa kerja ini saya belajar banyak dari beliau. Banyak sekali beliau nyekokin saya tentang arsitektur. Kan Pur punya banyak buku tentang Frank Llyod Wright, Le Corbusier, Louis Khan dan beliau banyak bercerita kisah arsitek-arsitek di luar negeri yang notabene tidak pernah diajarkan oleh dosen-dosen lain di unpar. Di kampus umumnya pelajarannya itu tentang bagaimana supaya masuk WC tidak terjeduk atau apa sikap yang baik dari sebuah bangunan yang terletak dipojok. Namun tidak pernah seperti  di Jurusan Arsitektur di UI (Universitas Indonesia) misalnya “ini Louis Khan. Louis Khan punya prinsip seperti ini. Nah kalau kalian jadi Louis Khan bagaimana menurut kalian?”.  Nah Kang Pur itu yang banyak memberikan wawasan seperti ini ke saya. Kedua, beliau yang mengajarkan bagaimana mempersiapkan gambar kerja– apa yang dipentingkan dan apa yang tidak. Dan karena Kang Pur itu punya biro konsultan dan juga pembangun, jadi saya bisa datang ke lapangan dan belajar banyak dari soal bouwplank sampai memahami pergeseran-pergeseran yang ada antara apa yang kita gambar dan apa yang terjadi di lapangan.

Akhirnya belakangan saya sudah tidak peduli lagi dengan nilai-nilai di kampus. Saya jadi tidak mengejar nilai. Kesukaan dan kecintaan terhadap ilmu arsitektur jadi membuat saya tidak peduli nilai-nilai di kuliah apakah dapat bagus atau tidak. Dan untuk itu saya bisa belajar di kampus atau pun di luar kampus, tanpa harus mengejar nilai.

 

Sedikit intermezzo. Karena kebetulan tadi menyinggung tentang Yori dan Anto, jadi sejak semasa kuliah sudah kenal mereka?

Agak-agak tingkat akhir saya kenal mereka. Jadi sebetulnya kenalannya pun karena saya punya sahabat  yang kebetulan adiknya kuliah di jurusan Arsitektur UI. Jadi kadang-kadang saat liburan, saya suka main ketempat mereka. Adiknya ini suka cerita,

“Ditempat ku kayak gini, ada dosen namanya Kusdaya cerita soal ini, lalu ada dosen namanya Budi Sukada, dia baru pulang dari AA, London. Dia banyak cerita soal posmo..” ,

“oh mau dong ikutan. Soalnya di kampus gue belajar nya kok soal teknik-teknik melulu.”

Lalu adiknya ini bilang, “ya udah kapan-kapan kamu ikutan aja nyelinap. Masuk ikutan kuliah.” 

Akhirnya saya ikutan menyelinap masuk kuliah di UI. Nah disitu saya berkenalan dengan Yori dan Irianto. Terus ya ngobrol-ngobrol dan mulai diajak-ajak ngumpul.

 

Ini sebelum masa AMI ya?

Iya, belum.

 

Kembali soal masa kuliah di Unpar, dulu Tugas Akhirnya Mas Aang apa ya?

Tugas akhir saya memang agak-agak lain sih. Waktu mau Seminar (salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh sebelum Tugas Akhir) saya sudah punya obsesi untuk mengeksplorasi kekayaan arsitektur di Indonesia. Obsesi ini yang menjadi cita-cita saya untuk merancang Pusat Studi Arsitektur Indonesia. Pusat studi ini tugasnya mengkaji arsitektur Indonesia dari yang skala-nya paling kecil sampai yang paling besar – dari skala detil sampai ke skala urban. Jadi saya berpikir kalau Pusat Studi ini ada, masyarakat bisa belajar soal arsitektur Indonesia di tempat ini. Tidak perlu  harus jadi sekolah, tapi kalau dijadikan bagian dari program studi S2 juga tidak apa. Idenya, institusi ini juga menyediakan kursus untuk berbagai tingkatan – dari soal yang terkecil sampai ke soal yang rumit seperti kampung dan kota. Nah proposal  ini yang saya usulkan sebagai  proyek Tugas Akhir -  dimana mahasiswa yang lain ya mengerjakan proyek hotel, bandara, atau apa lah.

Makanya pas mengajukan proyek ini, langsung dibilang oleh Pak Hidayat Natakusuma

“Apaan nih? Gak ada nih program seperti ini.Tidak bisa.”

“Tapi menurut saya program ini penting.”

“Tapi masa kamu ngarang program sendiri? Terus kamu kerjain sendiri? Ya tapi kalau kamu memang mau ini maka narasi kamu harus kuat.”

 

Pak Hidayat ini dosen pembimbingnya Mas Aang?

Iya.

Nah kebetulan Pak Hidayat ini jadi agak baik dengan saya karena pernah dekat atau mungkin hampir mau pacaran sama kakaknya ayah semasa beliau tinggal di Tasikmalaya. Mereka waktu itu sama-sama jadi penyiar radio. Makanya mungkin karena ini jadi lumayan baik sama saya.

“ya udah kalau mau kayak gini, kamu studi dulu deh”, kata dia.

Lalu saya  bilang, “saya undurin Tugas Akhir saya deh ya ke semester depan.”

Nah selama satu semester itu saya berkeliling tuh tanya-tanya ke Pak Adie Moersid (alm), Pak Parmono Atmadi (alm), Budi Sukada, dan banyak lagi. Sebetulnya ya saya cuma mau tanya penting tidaknya kalau ada pusat studi seperti ini dan program-programnya yang diperlukan sebaiknya apa. Akhirnya saya punya narasi dan program nya, dan akhirnya disetujui..

 

Ini menarik. Mungkin sekarang  ini kejadian yang jarang sekali bahwa ada mahasiswa yang dengan sengaja mengulur masa tugas akhir-nya. Walaupun  mungkin ini juga masalah jaman dan konteks yang berbeda. Pada saat saya kuliah di tahun 1990-an, juga biasa ada mahasiswa yang dengan sengaja memperlama masa Kerja Praktik-nya dari 6 bulan jadi 1 tahun misalnya.

Kalau menurut saya sih memang tidak perlu buru-buru. Tetapi juga bukan berarti kemudian jadi terlalu santai. Kan kalau memang suka dan cinta ilmu arsitektur berarti memang mau tahu sekali dong soal ilmunyaseperti apa. Nah kalau belum puas ya buat apa tinggalin sekolah buru-buru. Demi nilai? Demi mau kerja? Menurut saya sih tidak ada harganya. Apalagi sekarang saya kenal banyak orang seperti kamu, Sonny Sutanto, Antony Liu, Sukendro, dan lain-lain, toh kayaknya ya berasa seumuran saja padahal bedanya bisa sepuluh tahunan mungkin ada. Jadi maksud saya, waktu (di dunia arsitektur) kalau mundur setengah tahun, satu tahun, atau satu setengah tahun itu ya tidak ada bedanya.

 

Mas Aang kuliah di unpar sampai lulus berapa lama ya?

6.5 tahun. Jadi seharusnya saya bisa lulus 6 tahun tapi jadi 6.5 tahun karena persoalan Tugas akhir tadi.

 

Dan kalau dibanding dari seluruh perjalanan berkarya nya Mas Aang selama ini, masa belajar 6.5 tahun itu ya pendek-pendek aja?

Iya. Rasanya ya pendek aja.

 

Lalu Tugas Akhirnya dapat nilai berapa?

“B”. Bukan  “A”.

Ya salah satu nya karena dianggap saya ngarang-ngarang program dan dianggap tidak kuat. Dianggap mereka saya tidak mau ambil yang pasti-pasti aja. “Program yang diajuin kayak gini ya bagaimana nilainya..”, sepertinya ada kesan begitu..

 

Masih ingat penguji Tugas Akhirnya siapa?

Salah satunya Pak Sandi (alm), Pak Hidayat(alm) tentunya, dan Pak Aji (alm).

 

Dari tadi kan Mas Aang sering bilang “cinta arsitektur”, sebetulnya sejak kapan sih Mas Aang sadar dan yakin akan ini?

Saya ingat tugas pertama saya adalah bangunan ber-modul segitiga, lalu modul itu diulang-ulang. Jadi kalau kamu masuk ke bangunan ini, kamu akan merasa gepeng satu sisi. Nah permainan ruang seperti begini rasanya senang. Terus ada lagi soalnya seperti ini, "Diminta mendesain perluasan balaikota Bandung.” Kan kamu tahu ada rancangannya Pak Slamet Wirasoendjaya kan? Trus kami diminta merancangan ke depannya lagi. Nah kalau mahasiswa lain merancang bangunan yang menjulang, saya malah menenggelamkan bangunan rancangannya. Saya ingin balaikota Bandung jadi terasa lebih anggun jadi bangunan saya harus mengalah.

Namun di tugas ini nilai saya  ‘C’.  

Alasannya; “kamu diminta merancang bangunan tapi malah bangunannya kamu tenggelamkan. Bagaimana menilainya?”.

Ya sudah, terpenting bagi saya untuk merasa bahwa gubahan seperti itu keren sekali. Ruang nya saya sediakan fitur air supaya bangunannya jadi anggun. Buat saya bermain ruang seperti ini menyenangkan. Memanipulasi space seperti ini seru sih.

Kalau saya mau mengejar nilai bagus, saya tinggal  pilih saja proyek hotel dan terus gambar yang banyak untuk Tugas Akhir saya tapi kan tidak. Saya seperti ‘nyari-nyari’ sendiri-kenapa lagi harus susah-susah begitu. Dan ternyata ke depannya jadi penting. Kalau memperhatikan karya-karya saya yang sekarang, bisa terlihat kalau banyak bangunan saya yang pilotis. Dan lalu kenapa di Venice Biennale saya juga mengangkat arsitektur vernakular Indonesia, ya memang karena dari dulu memang sudah suka sekali  dengan topik ini -  walaupun suka-nya saya dengan Yori (Yori Antar) lain ya.

Mungkin ya, dalam arsitektur saya menemukan sesuatu yang anak saya, si Ditra, justru tidak dia  sukai yaitu ketidakjelasan. Menembus ketidakjelasan - menembus ruang atau menembus sesuatu yang jawabannya tidak bisa langsung didapatkan. Tidak langsung terkait dengan sebab-akibat. Ada kejutan-kejutan yang bisa kita  dapatkan dalam perjalanan menembus ketidakjelasan ini.  Arsitektur menurut saya seperti itu. Ada jawaban-jawaban alternatif yang  selalu muncul dari perjalanan ini. Terutama soal space ya.Dari awal saya selalu suka soal ini. Kalau soal yang lain-lain, material, bentuk atau detil, ya hal-hal ini mungkin suka juga tapi  sebetulnya kesukaan utama saya  cenderung ke bagaimana mengemas ruang menjadi sesuatu yang tidak bisa diprediksi atau memainkan ruang secara psikologis ; kita bisa merasa takut, merasa kecil, merasa besar. Aspek  ini  buat saya menyenangkan.

 

Jadi ketertarikan Mas Aang sama ruang itu bawaan saja kali ya? Bukan ditemukan semasa belajar.

Iya. Rasanya bawaan aja.

 

Jadi minat mas Aang terhadap arsitektur vernakular Indonesia itu juga sudah ada semenjak kuliah di Unpar ya?

Iya.

 

© 2019 AMA . 

Image available from https://manual.co.id/

Serangkaian interview ini sudah dipublikasikan pada buku Prihal Andramatin. Publikasi pada Nenun Ruang dibagi menjadi 4 (empat): 01 - introduction, 02 - masa belajar, 03 - praktik awal, 04 - tentang biro Andra Matin,. Selamat membaca!

Related
Ideas
2 years ago
98 Memory Lane: Monumen Kerusuhan Mei 1998
Design Public Spaces
Ideas
2 years ago
USU Student Activity Center
Design Student Projects
Ideas
1 year ago
Nenun Ruang Student Project Submission
Design Education
168 Comments
A
Login to leave a comment. Sign In ?