Perjalanan Menembus Ruang Andra Matin 03 - Praktik Awal

Ideas
2 years ago

Berapa lama kerja di sebuah kantor arsitek (sebelum membuka kantor sendiri)? " Tergantung orangnya. Menurut saya mungkin paling tidak bekerja dulu minimal 5 tahun lah ya. Kalau cuma bekerja 2-3 tahun sih kurang".

Words by David Setiadi

PERKENALAN DENGAN JEPANG

Setelah lulus kuliah Mas Aang langsung bekerja di Hadiprana?

Nah abis kuliah kan lelah tuh mengerjakan tugas-tugas, jadi ya sudah deh mau istirahat dulu pikir saya. Jadi ya saya mau malas-malasan saja - sekitar tiga bulanan lah malas-malasan.

Nah pas waktu itu ayah saya pensiun, dan beliau pindah ke Universitas Trisakti, jadi Dekan kalau tidak salah di Fakultas Seni Rupa dan Desain. Namun pekerjaan lain ayah saya itu mengurusi yang namanya itu pendidikan luar sekolah jadi bukan pendidikan formal tapi pendidikan non-formal. Makanya termasuk didalamnya Pramuka, dan Paskibraka karena itu adalah lingkup pendidikan non-formal. Dan salah satu program dari lingkup pendidikan non-formal ini adalah kerjasama dalam lingkup internasional. Salah satu programnya itu ada satu program – namanya saya lupa – kelompok 11 anak dari berbagai tempat di seluruh dunia berkumpul terus menginap bersama di suatu tempat. Program ini tiap tahun ada. Selain program ini juga ada program seperti seperti pertukaran pemuda Indonesia – Kanada, atau pertukaran pemuda Indonesia-Australia, atau naik kapal ASEAN dua setengah bulan. Nah yang terakhir ini menarik perhatian saya. Saya mau ikutan. Dan karena waktu itu ayah saya adalah bos nya disitu, jadi ya saya KKN (tertawa).

Saya bilang ke ayah,

“mau dong ikutan itu pak. Masih males kerja”

“ya udah kamu ikutan aja. Tanya sama om Bejo”.

Ada tetangga yang juga kebetulan kerja di bagian kepemudaan itu. Nah jadi KKN kan (tertawa).

Menurut saya yang paling gampang ya ikut kapal ASEAN itu. Alasannya, pertukaran Indonesia-Kanada itu harus 6 bulan, pertukaran Indonesia-Australia itu 3 bulan, nah yang kapal itu cuma 2.5 bulan dan bisa mengunjungi banyak negara di ASEAN, jadi ya saya pilih yang itu aja.

Jadi kapal ini berkeliling dari Malaysia ke Singapura, Jakarta, Brunei, Filipina, Thailand dan lalu ke Jepang. Sehari-hari nya di kapal itu kalau ada perjalanan 2-3 hari ada diskusi tentang ‘youth’, ada tentang “cultural exchange”, “Indonesian day”, ada perayaan “National Day”. Kalau pas berhenti di satu negara, kami semua tinggal bersama penduduk setempat, jadi ada foster parents-nya. Kami belajar menari dan segala macam deh. Jadi seperti  senang-senang tapi banyak belajar soal culture.

Dan ini menurut saya menyenangkan sekali. Perjalanan ini berakhirnya di Jepang dan kami disana tinggal selama 8 hari. Seharusnya ada agenda untuk bertemu Kaisar Akihito tapi beliau sakit waktu itu. Akhirnya kami cuma diberikan uang saku lalu disuruh jalan-jalan sendiri. Ini menyenangkan sekali sih.

Namun sebetulnya ini kali kedua-nya saya ke Jepang. Pertama kali itu di tahun 1986. Oleh karena itu, kali ini ya saya lebih gila lagi jalan-jalan-nya. Saya jalan saja sendirian -  tidak ikut-ikut yang lain. Dua kali jalan-jalan di negara ini yang bikin saya makin suka dengan Jepang.

 

Jadi pertama kali ke Jepang itu kapan? Jalan sendirian saja kesana?

Pertama kali saya ke Jepang itu begini. Sebelumnya kan saya sudah cerita bila tiap kali bulan puasa dari SD-SMA, saya tinggal bersama kakek-nenek di Bandung. Nah kebetulan adiknya ibu saya itu tinggal bersama  nenek.

Beliau ini dosen sastra Jepang. Jadi di tempatnya itu banyak buku-buku Jepang, komik Jepang dan segala macam tentang Jepang. Saya suka lihat-lihat, baca komik-komik-nya, baca buku-buku-nya yang membuat  saya mulai banyak tahu soal Jepang. Nah pas saya tahun ketiga. Si tante ini bilang,

“Aku mau ke Jepang nih bersama mahasiswa-mahasiswa Unpad. Kamu mau ikut? Saya selama tiga minggu disana, bayarnya sejuta rupiah. Tapi kamu harus berlagak jadi mahasiswa Unpad.”

Ya sudah saya ikutan jadi mahasiswa Unpad. Jadi kalau jalan-jalan, salaman-salaman ya saya mengaku sebagai mahasiswa Unpad, kalau lagi ada acara menyanyikan Hymne Unpad ya saya berlagak saja -mangap-mangap-, toh tidak ketahuan juga kan. Lalu pas programnya selesai, tante saya itu memperpanjang masa tinggalnya di Jepang selama seminggu karena masih ada urusan. Nah saya ditawari mau ikutan perpanjang atau gak. ya saya mau lah.

Nah selama beliau ada kerjaan, saya jalan-jalan bersama beberapa orang lain yang juga memutuskan memperpanjang masa tinggalnya di Tokyo. Ini pertama kalinya saya ke Jepang.

 

Ok. jadi yang pertama itu pas Mas Aang tahun ketiga lalu kedua kali nya ke Jepang itu setelah lulus?

Iya.setelah lulus, pas masa menganggurnya  saya Itu -  Sebelum akhirnya memutuskan coba-coba untuk freelance.

 

PROYEK PERTAMA

Rasanya dulu pernah Mas Aang cerita proyek pertama Mas Aang sebagai arsitek freelance. Proyek pertamanya itu bangunan kos-kos-an ya?

Proyek pertama freelance itu merancang bangunan untuk kos-kosan di jalan Dago, dan lalu jadinya itu jelek sekali. Waktu itu saya pikir tukangnya bisa paham sendiri tapi ternyata tidak demikian dan jadinya buruk. Akhirnya setelah jadi saya sempat tidak mau lewat jalan Dago lagi. Malu ngeliatnya.

 

Masih ada bangunannya Mas Aang?

Sudah tidak ada. Sudah diganti. Sudah hilang - Untung hilang.

 

Proyek pertama ini dari mana?

Ya biasa kalau proyek awal-awal begitu kan biasanya dari keluarga. Baru lulus, lalu orang tahu bahwa ada ini yang baru lulus dari Unpar, ada siapa lah, om atau tante mulai minta tolong merancang sesuatu buat mereka. Kebetulan kita lagi butuh proyek dan mereka tidak mau bayar arsitek jadi ya kira-kira begitu lah.

Kalau tidak salah sempat dua kali saya mengerjakan proyek freelance dan keduanya terbangun. Oh Maaf, ada tiga. Satu-nya lagi di bintaro, saya masih ingat.

 

Ada pengalaman berharga dari mengerjakan proyek-proyek freelance ini?

Hm… tidak sih. Tidak, itu dalam arti saat itu rasanya saya  tidak terlalu fokus juga. Dulu itu ada perasaan begitu sudah lulus merasa sudah jago. Mungkin banyak arsitek-arsitek muda sekarang juga pernah merasakan gitu - saya merasa bisa gambar, bisa nge-desain. Nah ternyata setelah bangunannya jadi dan jelek, saya baru sadar bahwa saya masih butuh banyak belajar dan saya itu belum  ada apa-apanya. “ Belum mampu nih gw sendirian.”, pikir saya.

 

HADIPRANA

Apakah saat itu tidak  pernah terpikir untuk bekerja di kantor arsitek?

Tidak pernah.

Saya itu hampir tidak pernah melamar kerja. Dari dulu saya memang inginnya sendiri karena menurut saya kebebasan adalah nomor satu. Jadi memang sebelumnya tidak pernah terpikir untuk bekerja di kantor arsitek Hadiprana.

Nah awalnya itu saat saya lagi iseng-iseng cari kaset di jalan sabang - dulu ada toko kaset namanya Duta Suara. Disana tanpa sengaja bertemu  atu temansatu angkatan di Unpar dulu. Dia bilang,

“Ang mau gak kerja di Hadiprana?”.

“desainnya kayak gimana?”

“ya desainnya si begitu, meliuk-meliuk. Nah gw disana dan Faried juga disana.”

Nah saya tau Faried (Faried Masdoeki, saat ini Direktur Desain di Kantor Arsitek Hadiprana) itu waktu lulus itu juara. Gambar-nya panjang, sepanjang 3 meter pakai pensil warna semua dan gambarnya bagus. Kalau Faried aja bisa masuk situ dengan gayanya, berarti kan Hadiprana ada sesuatunya-bukan kantor arsitek biasa saja. Jadi walau desain Hadiprana waktu itu bergaya ala palladian tapi saya yakin pasti ada sesuatu yang bisa dipelajari. Jadi ya sudah deh daripada saya tidak ada juntrungan-nya freelance-freelance melulu, jadi ya saya putuskan bekerja di kantor aristek saja dulu.

Saat diwawancara, Om Heng (Hoo Tjoe Heng atau Hendra hadiprana) dari Hadiprana itu bukan bertanya soal arsitektur tapi lebih ke hal-hal yang lebih personal seperti, “bapak kamu itu gimana?” dan lain-lain. Beliau itu senang kalau latar belakang orang tua seseorang itu guru atau pendidik. Katanya konon kalau latarnya seperti itu biasanya orang nya baik dan bisa bertanggung jawab.

 

Saat itu kantor Hadiprana sudah sebesar apa ya?

Saat saya masuk itu lebih kurang sebesar kantor saya sekarang, ada sekitar 40-an orang karyawannya.  Arsitek-nya sekitar 15, ditambah drafter. lalu ada bagian interior & artwork. Jadi waktu itu rasanya Hadiprana ada sampai 60-an orang. Dan karena kantor Hadiprana juga melakukan Design & Build, maka ada bagian kontraktor yang isinya sekitar 20-an orang.

Ditambah lagi, waktu saya masuk, juga bersamaan Hadiprana menambah sekitar 20 orang-an lagi sampai kita punya studio khusus. Di bagian belakang satu gedung, itu disediakan bedeng khusus untuk bekerja –  bedeng ini dinamai studio jimbaran.

 

Untuk di tahun 1980-an, kantor dengan karyawan sebanyak itu termasuk kantor besar?

Besar.

Walaupun belum sebesar tim 4 dan lainnya. Tiba-tiba jadi besar karena proyek hotel Bali Intercontinental.

 

Posisi pertama mas Aang di Hadiprana waktu itu apa?

Posisi saya waktu masuk mungkin sebutannya Desainer Muda. Saat itu ada beberapa senior desainer, seperti mas Aris, mas Muji. Saat itu proyek-proyek nya kantor Hadiprana umumnya rumah tinggal baru kemudian mulai menerima proyek-proyek perkantoran.

Dulu cabang-cabang Bank Niaga itu dirancang oleh kantor Hadiprana semuanya.

 

Kalau posisi terkahir Mas Aang di Hadiprana itu apa ya?

Posisi saya terakhir itu di BOD (Board of Designer) bersama Faried dan Dedi (Dedi Kusnadi, prinsipal NAD studio).

 

Di Hadiprana itu coretan pertamanya dari Mas Aang (BOD) atau ada lagi diatasnya?

Coretan desain datangnya dari Saya, Faried dan Dedi, bertiga. Oh ada Pak Shindu Hadiprana sebagai Direktur tapi beliau lebih berkonsentrasi di bagian marketing dan juga untuk menyetujui atau tidaknya sebuah proposal -  tapi Pak Shindu jarang coret-coret sih.

 

Siapa sosok yang Mas Aang anggap mentor selama di Hadiprana?

Mentor dari sisi arsitektur sih tidak  ada. Namun secara umum ya Om Heng. Beliau yang membantu jodohin saya dengan Dite (sekarang Istri Mas Aang). Kalau ada masalah dengan klien juga dia yang bisa membantu menjelaskan. Kalau dalam berarsitektur itu, di kantor Hadiprana itu sangat nyaman -  kami bisa leluasa menentukan arah kami  sendiri.

 

Jadi proses belajar Mas Aang di Hadiprana waktu itu bagaimana ya? Misalnya Mas Aang ikut siapa dulu atau mengerjakan proyek skala tertentu  dulu?

Tidak begitu. Misalnya, saya dan Faried itu dari awal sejajar. Dulu ada yang lebih senior misalnya Mas Aris, tapi begitu saya dan Faried disana mereka itu seperti jadi kurang dominan. Jadi biasanya Mas Aris dan rekan-rekan yang mengerjakan proyek-proyek Hadiprana yang biasa. Saya dan Faried biasanya mengerjakan proyekproyek yang lebih kontemporer dan lebih besar skalanya. .

Dan kami berdua juga selalu berusaha melengkapi. Saya tahu Faried suka dengan detil, gambarnya juga bagus. Jadi saya lebih berperan untuk menjaga desain yang garis nya lebih modern -tentang persepsi ruang - perhatian saya lebih disitu.

 

Mas Aang sampai tahun berapa ya di Hadiprana?

Sampai tahun 1998.

 

Jadi total berapa lama ?

Hampir 10 tahun.

 

Mau bekerja di sebuah kantor arsitek selama 10 tahun-an sebelum memutuskan buka kantor sendiri saat ini mungkin agak langka ya.

Iya. Di generasi saya yang kerjanya lama itu mungkin. Saya, Irianto Ph, Willis mungkin. Irianto itu sampai 14 tahun di PAI.

 

Menurut Mas Aang, seperlu apa kerja selama itu di sebuah kantor arsitek (sebelum membuka kantor sendiri)?

Tergantung orangnya. Menurut saya mungkin paling tidak bekerja dulu minimal 5 tahun lah ya. Kalau cuma bekerja 2-3 tahun sih kurang.

 

Nah dari pengalaman bekerja di Hadiprana selama 10 tahun itu, pelajaran apa yang Mas Aang bawa sampai sekarang berkarya?

Susah juga diceritakannya karena hampir semua aspek terbawa sampai sekarang bahkan diluar dari arsitektur itu sendiri -  soal hubungan sosial misalnya.

Sekadar latar, keluarga saya adalah keluarga sederhana, keluarga pegawai negeri. Walaupun katanya ayah saya itu golongan 4E (golongan 4E adalah pangkat tertinggi dalam kepegawaian Pegawai Negeri Sipil), tapi sebetulnya beliau bukan orang yang bisa ngobyek  jadi  penghasilannya secukupnya saja. Dapat gaji segitu, diberikan ke ibu dan karena masih dirasa kurang, ibu nyari kerja sendiri dan akhirnya ibu bekerja di tempat kursus bahasa Inggris, LIA. Walau ibu juga akhirnya jadi direktur di LIA tapi ya pendapatannya ya  segitu-segitu aja. Mereka hidup di lingkungan mereka sendiri saja, tidak lihat kemana-mana.

Nah waktu di Hadiprana, Om Heng itu adalah orang yang secara sosial ada di level crème of the crème-nya Jakarta. Teman-temannya itu jenderal-jenderal aktif, duta besar, menteri, dan segala macam. Namun beliau tidak peduli saya asalnya darimana, desa atau apa, saya dicemplungin saja untuk bisa mengenal orang-orang dari kalangan ini - diajarin soal table manner, bagaimana ngobrol dengan orang dan sebagainya. Jadi sebetulnya saya belajar bersosialisasi di luar kalangan saya itu di kantor Hadiprana.

Kemudian saya dan Faried belajar bersama untuk menangani proyek-proyek yang lebih besar. Waktu kami masuk ke kantor Hadiprana, kira-kira tiga bulan kemudian, Om Heng dapat tawaran untuk merancang Bali Intercontinental Resort di Bali yang kamarnya 800.

Bambang Trihatmojo (anak dari Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto yang juga adalah seorang pengusaha) bilang ke Om Heng,

“Mau tidak saya percayakan proyek ini? Intercontinental tidak berikan proyek ini ke arsitek Indonesia tapi kalau Om Heng mau saya percaya dan saya kasih proyek ini. Dan kalau intercontinetal tidak mau ya sudah tidak jadi. “

Intercontental itu tanahnya sangat seksi itu –memanjang di bibir pantai – jadi hampir tiap titik punya pemandangan ke arah pantai dan ipotensi tapak seperti itu hanya ada di Jimbaran dan tidak ada di tempat lain.

Akhirnya pihak Intercontinental menyerah dan proyeknya diberikan ke hadiprana. Nah semenjak itu proyek-proyek di Hadiprana tidak lagi hanya rumah tinggal tapi mulai menerima proyek yang skalanya lebih besar.

Saya berkecimpung di proyek Intercontinental selama 4 tahun. Waktu itu umur kami sekitar 27-28 tahun sementara Ssangyong, adalah kontraktor terkenal dari Korea yang terlibat di proyek ini, staf dari mereka waktu itu umurnya sekitar 40-50 tahun lah. Kami belajar banyak dari kompleksitas sebuah hotel, bagaimana bekerja sama dengan kontraktor besar, dengan konsultan MEP yang besar, sampai bagaimana bekerjasama dengan kantor dari luar negeri.

 

Selama 10 tahun di Hadiprana pernah gak Mas Aang bikin kesalahan desain yang fatal?

Pernah.

Ada namanya gedung Graha Paramita, saya merancang satu sirip yang seperti  ‘terbang’  dari lantai berapa sampai lantai berapa – inspirasinya mau seperti bangunannya Jean Nouvel ’ Cartier foundation’. Di bangunan karya Nouvel ini kan ada satu bidang yang tipis dan lepas begitu kan. Nah saya juga lupa, kok seingat saya  disana tidak  enggunakan sekur-sekur.. Jadilah ya saya buat seperti itu tidak pakai sekur -  sebodo saja. Kacanya jatuh dong! Kacanya jatuh..brak..brak..brak. Itu sih gila, ngabisin duit dan malu banget sih. Tapi pelajaran buat saya - ini kesalahan paling fatal. Untung tidak ada orang dibawahnya.

 

© 2019 AMA . 

Image available from https://tirto.id.

Serangkaian interview ini sudah dipublikasikan pada buku Prihal Andramatin. Publikasi pada Nenun Ruang dibagi menjadi 4 (empat): 01 - introduction, 02 - masa belajar, 03 - praktik awal, 04 - tentang biro Andra Matin. Selamat membaca!

Related
Ideas
2 years ago
98 Memory Lane: Monumen Kerusuhan Mei 1998
Design Public Spaces
Ideas
2 years ago
USU Student Activity Center
Design Student Projects
Ideas
1 year ago
Nenun Ruang Student Project Submission
Design Education
168 Comments
A
Login to leave a comment. Sign In ?