Trust itu dibangun pelan-pelan. Trust memang menurut saya datangnya sangat perlahan tapi kalau kita kuat, kita bisa melampaui tantangan-tantangan untuk mendapatkannya.
MEMUTUSKAN MEMBUKA BIRO SENDIRI
Mas Aang buku biro itu tahun berapa ya?
Saya buka biro itu tahun 1998, saat umur saya itu 36 tahun.
Kalau dilihat karir Mas Aang di Hadiprana itu kan baik, secara kondisi juga nyaman, proyek ada, posisi sudah paling ‘tinggi’, kenapa kemudian memutuskan untuk akhirnya keluar dan buka proyek sendiri?
Kayaknya sih kembali ke soal kemerdekaan.
Dulu kan saya tidak banyak paham soal material, soal membangun relasi sosial, lalu soal keuangan dan segala macam. Ditambah dulu juga saya tidak pernah mengerjakan satu proyek sampai ‘jadi’, dan banyak masalah teknis lainnya. Jadi saat itu, setelah mengerjakan beberapa bangunan dan terbangun, sepertinya sudah membuktikan diri bahwa saya bisa. Jadi masa belajarnya sudah cukup.
Awalnya itu tidak berasa, tapi makin lama makin terasa. Kalau masih kerja dengan orang lain, bagaimana pun juga nanti pasti ada satu saat akan ada yang intervensi “jangan gini deh..jangan gini.”.
Ternyata saya sadar saya punya keinginan sendiri.
Apa proyek pertama Mas Aang waktu mulai sendiri?
Leboye.
Biasanya sebelum buka praktik sendiri, seorang arsitek kan ‘moonlighting’ dulu. Apa pengalaman Mas Aang soal ini?
Saya pernah ‘moonlighting’ dua kali. Satu itu untuk proyek leboye dan satu lagi itu ikutan kompetisi perancangan sekolah di Bali. Nah yang kompetisi ini kami masuk final melawan Atelier 6 dan menang. Namun karena saya masih bekerja di Hadiprana, jadi ya diam-diam. Waktu menang pun, saya dan Mas Dedi waktu itu, diam-diam saja bahkan sampai takut menerima penghargaannya. Desainnya dibangun kalau tidak salah - salah satu sekolah di daerah jimbaran lah.
Masih ada bangunan sekolahnya?
Masih ada.
Jadi bagaimana awalnya sampai bisa mendapatkan proyek kantor Leboye?
Hermawan itu tadinya berkantor di Perdatam lalu dia ingin buka kantor di Kemang. Nah sewaktu mengerjakan pekerjaan desain grafis untuk Lippo, dia berkenalan dengan Dite yang waktu itu juga sedang mengerjakan pekerjaan desain interior dari Hadiprana.
Dia bilang ke Dite - waktu itu saya sudah pacaran dengan Dite,
“Ada gak yang bisa bantuin dari Hadiprana? Bikin kantor kecil kok?”
Dengar dari Dite soal ini, saya pikir mau deh bantuin. Lalu saya bertemu dengan Hermawan. Kita kenalan, ngobrol lalu diskusi. Hermawan bilang “… saya senang sekali dengan Meksiko dan saya suka sekali dengan Barragan (Luis Barragan). Ada gak yang bisa menginspirasi dan diterapin di kantor gw?” sembari meminjamkan banyak buku-buku Barragan ke saya.
Ya sudah jadi memang ada bagian-bagian yang saya sengaja cari inspirasi dari Barragan tapi di saat bersamaan, saya juga mau coba satu desain yang cukup tropis tanpa harus ada atap segala macam. Terpenting ada cross-ventilation, ada cahaya masuk. Saya ingin mencoba bagaimana dengan bentuk yang lain, jadi kalau ada overstek pun – bagaimana caranya supaya oversteknya tidak terlihat seperti overstek.
Jadi lah si Box yang ada tangganya itu.
Nah pas merancang tangga itu, kebetulan saya ingat di beberapa proyek Barragan kan tangganya juga tidak menggunakan railling. Lalu saya bilang ke Hermawan,
“ini kayak di (proyek) nya Barragan.”
Bedanya, kalau di karyanya Barragan kan dinding lalu tangganya kotak-kotak begitu - nah kalau saya mau coba menggunakan pelat lipat. Jadi inspirasinya dari karya Barragan tapi diekspresikan lewat cara lain. Hermawan setuju. Akhirnya ya jadi lah begitu.
Jadi saya selalu mampir ke proyek ini kalau pas ada waktu, tiap hari Sabtu-Minggu ya saya kesitu. Saya masih gambar sendiri di kertas kotak-kotak , tahu kan kamu kertas kayak begini?
Milimeter block?
Iya! Milimeter block nah saya mengerjakannya disitu, untuk modulnya dan lain-lain. Tukangnya kebetulan saya kenal namanya Agus. Nah waktu proyek ini hampir setengah jadi, saya pikir wah kalau proyek ini ketahuan banyak orang pasti bakal jadi omongan nih. Saat itu setahu saya belum ada karya arsitektur seperti ini di tahun 1998.
Jadi kalau kembali soal latar saya memutuskan buka kantor sendiri, alasannya di satu sisi karena keinginan saya untuk merdeka tadi, di sisi lain saya juga sedang moonlighting dengan proyek seperti ini. Jadi makin yakin bahwa sudah saatnya keluar walau waktu itu posisinya saya di kantor Hadiprana itu bagus dan saya tidak ada masalah apapun disana.
Oh Jadi waktu Mas Aang keluar dari Hadiprana, proyek Leboye itu sedang jalan ya bukan setelah selesai?
Bukan. Pas proyek itu sedang berjalan.
Saat proyeknya mulai Mas Aang masih di Hadiprana, selesainya Mas Aang sudah sendiri?
Pas mulai saya masih di Hadiprana, dan pas saya keluar pun proyek itu belum selesai.
Proyek Leboye itu berapa lama ya ?
Itu kalau tidak salah selesainya tahun 1999 awal, mungkin sekitar Februari. Saya keluar dari Hadiprana itu November 1998. Jadi kira-kira proyek Leboye ini mulainya sekitar bulan Agustus 1998.
Singkat juga ya waktunya?
Ya sebetulnya kan cuma sekotak saja dan renovasi bagian kantor yang diatas. Di bagian bawah, yang sekarang ada rumah makan dan galeri, itu dulu belum ada. Dulu masih ada satu toko lain.
Berapa banyak karyawan pertama Mas Aang?
Saat saya keluar kan sendiri. Dite waktu itu masih mengurusi bayi kami di rumah, jadi belum ikutan. Waktu itu ada satu orang dari kantor Hadiprana namanya Bang Ir, mau ikutan. Sampai sekarang pun Bang Ir masih di kantor saya dan nomor dua itu Vivi (Avianti Armand). Lalu ada Medi, juga dari Hadiprana lalu pindah ke kantor saya. Nomor empat, tukang maket. Orang hadiprana juga, namanya Boy. Lalu dilanjutin dengan yang lain-lain.
Waktu Mas Aang buka biro sendiri memang diketahui semua di kantor Hadiprana ya?
Iya mereka tahu.
Proyek terakhir yang Mas Aang kerjakan di Hadiprana apa?
Proyek terakhir saya sebelum keluar itu adalah Kantor Pusat Garuda, di Cengkareng. Proyeknya baru dikerjakan tahun 2011 menggunakan desain yang saya buat di tahun 1998. Proyeknya baru selesai sekitar tahun 2013. Sekarang kalau kamu perhatikan di buku-buku terbitannya Garuda itu, di majalah-majalah itu yang biasanya tersedia di dalam pesawat, gedung kantor yang jadi latar foto-nya Direktur Utama garuda itu adalah bangunan yang saya gambar dulu. Jadi setelah berapa belas tahun itu baru dibangun dan itu menurut saya ternyata tidak jelek juga desain waktu itu. (tertawa). Masih tetap kekinian juga.
Saat Mas Aang memulai kantor sendiri, apakah ada kesadaran untuk sengaja memberi warna yang berbeda dari desain-desainnya Hadiprana? Karena mungkin umum, apalagi kalau pernah bekerja di satu kantor selama mas Aang untuk terpengaruh oleh selera, gaya desain, atau jenis proyek dari kantor sebelumnya.
Sebetulnya kalau memperhatikan tipikal desainnya Hadiprana dan desain-desain saya di Hadiprana, tidak pernah ada hubungan antara keduanya. Mungkin pernah tahu rumahnya Irwan Kamdani, di Jalan Ampera. Rumah itu tidak seperti desain-desain tipikal Hadiprana. Jadi waktu saya keluar sebetulnya saya tidak pernah merasa harus meninggalkan gaya Hadiprana karena saat disanapun, saya tidak pernah mencoba mengikuti gaya desain Hadiprana yang biasanya.
Jadi sama sekali tidak ada pengaruh langsung antara pengalaman berarsitektur di kantor Hadiprana terhadap kegiatan berarsitektur di AMA?
Sebetulnya yang saya belajar banyak adalah bagaimana mengawinkan dua karakter atau prinsip yang seakan berbeda atau bertolak belakang. Saya belajar banyak soal proporsi gaya arsitektur palladium, belajar tentang arsitektur jawa, belajar tentang arsitektur bali, dan bagaimana mencintai Indonesia tidak hanya di arsitektur aja tapi juga di kesenian. Sebetulnya kecintaannya Om Heng sih, lukisan. Rumahnya Om Heng itu ribet banget, banyak patung segala macam.
Saya merasa di kantor yang sekarang, dengan mudahnya saya melakukan ‘pengawinan’ hal-hal yang beragam ini di rumah-rumah yang saya desain. Tetapi ternyata sangat susah untuk mengedukasi anak-anak di kantor saya untuk seperti itu. Akhirnya saya sadar, bahwa saya itu selama 9 tahun-an dalam situasi seperti itu di Hadiprana, sementara teman-teman di kantor itu tidak pernah mengalami suasana seperti itu. Jadi diantara rekan-rekan kantor sekarang seperti ada kesan alergi buat nyampur-nyampur beragam elemen seperti itu. Padahal buat saya, ‘menyampur’ adalah suatu keasikan sendiri.
Makanya saya juga tidak heran kenapa Vivi waktu itu tidak mau meneruskan proyek restoran Potato Head di Pacific Place, Senayan. Menurutnya ini bukan seperti warnanya Andra Matin. Padahal di proyek ini saya dengan enjoy nya merangkai kayu-kayu bekas.- warna desain yang seakan bertolak belakang - yang tidak terduga - ada sesuatu baru yang akan keluar – mengalami kejutan-kejutan seperti ini menurut saya menyenangkan.
Dan semangat desain seperti itu yang saya rasakan selama di Hadiprana. Bagaimana saya bisa merancang sesuatu di kantor ini dengan cara saya tapi tetap bisa get along dengan desain-desain hadiprana yang biasanya.
Tentang proyek Potato Head, saya bisa paham jika ada yang memahami proyek tersebut sebagai sesuatu yang ‘beda’ dari warna proyek-proyek andra matin sebelumnya. Namun jika mengikuti cerita Mas Aang sejauh ini, bisa jadi perbedaan di Potato Head ini masalah peluang saja. Bahwa dorongan untuk membuat ‘tabrakan-tabrakan’ antara yang ‘lama’ dan yang ‘baru’ dari dulu sebetulnya sudah ada.
Bisa jadi. Saya memang selalu merasa tidak perlu harus taat pada gaya tertentu. Kadang-kadang nyeleneh ok. Maksud saya, saya tidak perlu seketat Tadao Ando atau Richard Meier. Saya lebih mau seperti Herzog & de Meuron yang karakter nya berubah-berubah walaupun itu ternyata tidak mudah. Intinya saya tidak menutup kemungkinan untuk bisa berbeda.
Jadi Mas Aang tidak punya satu gaya yang harus dengan taat diikuti?
Iya, tidak ada – terutama dari gaya dan dari material. Walaupun pasti ada sesuatu yang akan sama seperti cara saya mempertahankan sekuens ruang. Saya tetap suka the unpredictablity of space, dan tetap berusaha mereduksi material sesedikit mungkin. Begitu saya sudah pilih batu ya batu aja, kayu ya kayu aja. Kalau bagian ini memang sudah by intention maunya begitu.
Di masa awal buka biro sendiri ada masa kesulitan cari proyek?
Pasti. Lima tahun pertama sih susah sekali dan memang waktu itu kita tidak dikenal seperti sekarang. Memikirkan bagaimana menghidupi ‘kantor’ bulan demi bulan, bagaimana bayar gaji buat anak-anak bulan depan, itu sangat susah. Dan yang tersulit di masa-masa awal itu adalah menarik pembayaran dari proyek-proyek yang sudah berjalan. Banyak proyek yang tagihannya tidak cair, sudah didesain tapi tidak jadi dibangun dan lain-lain.
Susah sekali masa-masa itu. Ada satu saat malah dimana ada satu proyek yang diharapkan cair tagihannya tapi tapi tetap tidak dibayar-bayar. Itu kejadian waktu mau berangkat ke Eropa bersama rekan-rekan AMI. Susah sekali mendapatkan uang waktu itu tapi ya sudah kita jalan terus aja.
Tahun kelima sampai tahun ke sepuluh itu sudah lebih gampang lah. Tahun ke sepuluh ke atas itu jauh lebih gampang lagi.
Kalau sekarang kan kami sudah berani minta Down-Payment dulu. Setelah dibayarkan baru saya akan presentasi. Nah waktu itu mana bisa, mana berani saya minta seperti itu – ya tidak akan ada yang datang. Untuk mencapai Itu saya harus kerja dulu dan membuktikan lewat proyek-proyek yang terbangun; proyek Aksara jadi, kemudian ada satu kantor di Kemang Timur punya Agam Riyadi jadi, Rumahnya Indra Leonardi jadi, trus Leboye jadi, Gedung 28 jadi, setelah lima proyek awal ini jadi itu pun masih tidak mejamin kemudahan mencari proyek lainnya. Dan apalagi setelah kantor Leboye menerima IAI Award, Gedung 28 juga menerima IAI Award, Toko buku Aksara – bangunan-bangunan ini apa kurang hits-nya jaman dulu kan (tertawa) tapi ternyata tidak menjamin praktik jadi secure. Tetap susah.
Dimana kira-kira titik baliknya?
Pada saat mulai dikenal dengan ciri tertentu, dan mulai ada media sosial yang membuat masyarakat lebih luas dengan mudah mengenali. Dulu kan cuma ada majalah Laras. Setelah berita-berita arsitektur mulai muncul di internet, lebih banyak mengenali. Lalu mulai ada bukti-bukti, desain kita mulai mendapatkan apresiasi. Mungkin itu juga bagian yang mempermudah. Leboye membuat kami punya lima proyek baru walaupun seperti proyek leboye, kelimanya adalah proyek renovasi. Lalu keluar rumahnya Winfred, dilanjutkan dengan rumahnya yang baru. Menyusul kemudian Tanah Teduh, Potato Head, ya makin lama orang jadi makin kenal.
Tahun berapa itu titik dimana Mas Aang merasa kantor nya sudah mulai memasuk fase yang lebih baik?
Mungkin tahun 2010 ketika Potato Beach Bali selesai.
Dulu banyak orang yang mau ke Bali untuk melihat bangunan ini. Sebetulnya saya tidak bisa klaim apa-apa sih. Arsitektur Bali itu kan bukan arsitektur yang ‘bersih’ dan Potato Head beach juga sebetulnya bukan arsitektur yang ‘bersih’. Dan seperti tarian dan musik tradisional Bali yang ritme nya cepat dan ceria, Potato Head Bali juga seperti itu. Warna-warni tapi menggunakan material bekas. Jadi menurut saya kedua hal ini jadi ada kaitannya – mungkin ini yang membuat mereka bisa menerima bangunan ini tampil dengan cara yang berbeda.
Saya terbayang kalau itu dibenci mungkin sekarang bangunan tersebut sudah ‘hilang’ atau sudah ambruk gitu tapi sepertinya masyarakat Bali lama-lama bisa mengapresiasi arsitekturnya dari Potato Head Beach club.
Setelah ini, dua tahun (2012) kemudian rumah saya jadi, itu juga satu milestone lain lagi. Dengan satu rumah yang cukup ekstrim di Jakarta. Menurut saya kedua proyek ini adalah milestone yang membuat kantor AMA ini jadi jauh lebih dikenal.
Mungkin.
Apakah setelah Potato Head Beach club itu banyak tawaran proyek baru dan eksposure dari media-media?
Dari publikasi. Menurut saya sebarannya jauh lebih luas karena pengaruh media ini.
Rasanya rumah tinggal nya Winfred Hutabarat juga satu titik yang penting ya?
Nah pertama saya bikin rumah nya Winfred di tahun 2006, desainnya sendiri mulai dari tahun 2002 atau 2003 baru dibangun 2006/2007. Ini juga proyek jadi sesuatu yang penting karena salah satu bangunan pertama yang bukan renovasi. Dengan kompleksitas yang tidak mudah tapi setelah jadinya pun saya puas.
Jadi Mas Aang itu bekerja di Hadiprana 10 tahun, lalu buka kantor sendiri di tahun 1998 dan baru 10 tahun kemudian (2008), Mas Aang baru merasakan posisi yang lebih baik. Jadi butuh 20 tahun untuk mencapai suatu kondisi yang lebih stabil dalam berpraktik. Faktor apa yang menurut Mas Aang penting dalam membangun ‘trust’ dari masyarakat sehingga mereka percaya dan bersedia menjadi kliennya Mas Aang?
Trust itu dibangun pelan-pelan. Pelan-pelan sampai akhirnya ada beberapa proyek yang jalan dan terbangun. Trust memang menurut saya datangnya sangat perlahan tapi kalau kita kuat, kita bisa melampaui tantangan-tantangan untuk mendapatkan-nya.
Karyawannya Mas Aang sekarang berapa jumlahnya?
Sekarang di kantor seluruhnya ada sekitar 50-an, saya lupa jumlah persisnya. Desainernya mungkin sekitar 40-an termasuk yang magang. Kalau desainer nya sendiri tanpa yang magang sekitar 30 – 32 an lah.
Ada bayangan mau kemana arah biro AMA setelah ini?
Ada beberapa cita-cita yang ingin saya lakukan tapi belum kesampaian. Saya ingin punya workshop sendiri entah itu workshop besi atau workshop kayu. Udah saatnya kami merancang detil-detil sendiri - bukan cuma digambar tapi langsung dilakukan dan dibuat. Rasanya sekarang udah saatnya dan harus.
Kedua saya juga tidak mau biro ini jadi ‘besar’ dan lalu ‘out of control’. Sekarang kok saya lebih senang kalau bisa punya networking yang luas. Nantinya kantor AMA hanya berfungsi sebagai think tank aja dan kita bisa bekerja dengan mitra-mitra di berbagai tempat untuk mengembangkan desainnya bersama.
Dengan jumlah yang sekarang, menurut skala kantor Mas Aang sudah ideal atau sudah dirasa cukup besar?
Kalau melihat dari jumlahnya terasa besar ya. Tetapi kalau memperhatikan banyaknya kerjaan yang masuk, kok merasa kasihan juga karena mereka handle pekerjaan banyak sekali. Jadi selalu merasa kurang orang.
Saya juga kurang paham bagaimana harus me- manage nya. Ditambah di kantor AMA itu ada sekitar 30% proyek yang bersifat CSR - desain-desain pro-bono. Ini mungkin pengaruh dari ayah saya nih, dorongan untuk mengerjakan proyek-proyek sosial sulit untuk ditahan. Dan proyek-proyek jenis ini memang menurut bagian keuangan sudah seperti menggerus keuangan kantor. Namun bagi saya adalah menjadi kebahagian sendiri kalau jadinya bisa bagus dan banyak orang yang senang.
Toh sebenarnya saya sudah menerima banyak jadi apa salahnya kalau saya kasih balik ke sebagian orang yang tidak bisa atau belum semampu orang lain.
Rata-rata turn-over karyawan di kantor Mas Aang itu berapa lama ya?
Paling sebentar itu cuma 2 bulan. Terlama itu 14 tahun. Namun rata-rata 4-5 tahun sih. Kebanyakan setelah mereka ngerjain satu proyek dan proyek itu jadi, selesai.
Setelah dari AMA mereka buka kantor sendiri atau bekerja ditempat lain?
Hampir semua, 80% yang setahu saya langsung buka kantor sendiri.
Mas Aang mengeluarkan orang saja kan tidak tega, bagaimana pengalaman pertama mengalami karyawan sendiri yang minta mengundurkan diri?
Pertama kali sih sedih.. Saya berharapnya mereka bisa lebih lama lagi di kantor tapi ya lama-lama tidak bisa berharap begitu terus juga.
Dulu tiap ada yang keluar kami adakan acara perpisahan. Namun makin lama makin terasa perasaan seperti terus tergerus, “sudah lama-lama terus keluar”. Akhirnya saya yang harus membiasakan diri dan perspektif di kepala saya yang dirubah - Bahwa mereka itu sebetulnya tidak kemana-mana dan tetap ada di sekitar kita - mereka tetap jadi keluarga kami, kebetulan aja sedang tidak di kantor lagi.
Dengan berpikir demikian saya tetap memposisikan diri bahwa rumah mereka tetap di kantor ini tapi kebetulan sedang diluar. Jadi kalau kebetulan bertemu lagi di jalan atau dimana pun ya tetap berasa mereka seperti masih di kantor saja.
REFLEKSI DAN RENCANA KE DEPAN
Sekarang setelah mas Aang 30 tahun berkarya, dengan segala pengalamannya, apa pesan Mas Aang buat para calon arsitek atau arsitek muda yang baru mau mulai?
Jadi arsitek menurut saya adalah sebuah profesi yang sangat menyenangkan selama sebagian dari hati kita ada disana. Mungkin berkarya di arsitektur, seperti pemain band, harus punya jiwa dan hati yang dasarnya kita suka dulu. Menurut saya ya, banyak orang bekerja bukan karena hati, tapi demi uang, di rumah dia punya hobi – hobi mobil tua, punya hobi menanam bunga, dan lain-lain jadi profesi arsitek itu seperti bkerja. Dan pekerjaan dan hobi adalah dua hal yang berbeda.
Bagi saya arsitektur itu hobi - kecintaan saya ya arsitektur. Oleh karena itu saya memang tidak pernah merasa bekerja. Saya seperti menjalani hobi saja yang kemudian dari situ bisa mendapatkan uang dan kesenangan. Kalau sudah cinta, kita bisa fokus, bisa tekun, dan percaya apapun yang dikerjakan dengan serius akan ada hasilnya.
Dan menurut Mas Aang penting kah menumbuhkan rasa kesukaan ini dalam dunia arsitektur ini?
Penting. Ditra (anak sulung Mas Aang) mencoba di sekolah arsitektur selama 2 semester lalu dia ternyata tidak suka dan kemudian memutuskan untuk pindah ke jurusan matematika. Ternyata dia senang sekali disana. Saya pikir lebih baik seperti itu.
Ada temennya Dite, dia dipaksa oleh orang tuanya untuk belajar arsitektur tapi tiap kali pulang nangis-nangis, jadi seperti selalu ada konflik. Menurut saya di dunia ini sudah banyak konflik ya, kenapa kita harus menambah konflik lagi?
Dulu di kantor sebetulnya ada satu orang yang cukup talented. Sebelumnya juga pernah bekerja di kantor-nya Yori Antar. Sekarang dia sudah pindah bekerja di sebuah developer dan kelihatannya sekarang bahagia.. Alasannya mungkin karena bekerja ‘under pressure’, atau mungkin karena masalah kesehatan – karena orang tua nya dokter. Tapi toh akhirnya sekarang dia ‘happy’ bekerja di developer.
Menurut saya kita harus paham kita siapa dan mau kemana. Jangan membiarkan kita tidak mengenali kita siapa. Kalau memang sudah yakin bahwa kita suka arsitektur ya ‘gas pol’ saja .
Dan bekerja menjadi arsitek memang tidak bisa berharap seperti bekerja di profesi lain yang dalam dua atau tiga tahun bekerja sudah ditawari mobil. Saya baru punya rumah itu di umur sekitar 50-an, kalau tidak salah, dan baru punya mobil itu baru di umur 40-an sekian. Saya kurang paham jika ada orang yang pencapaiannya diukur dari materi tapi kalau saya tidak begitu.
Berapa persen dari karyawan mas Aang – termasuk yang dulu-dulu – berapa persen yang Mas Aang perhatikan memang sukai arsitektur?
Rata-rata sekarang yang masuk ke kantor saya kelihatannya memang mereka suka jadi arsitek ya. Walaupun mereka sudah berhenti dari kantor pun mereka tetap di bidang arsitektur. Jadi yang keluar, mungkin tidak suka saja punya atasan. Jadi ya sejauh ini menurut saya anak-anak yang ada di kantor AMA itu suka semua sama arsitektur, malah cenderung freak sih.
Kalau saya lagi tidak sengaja dengar mereka ngobrol, mereka ngobrolin detil, soal arsitek-arsitek di majalah dan lain-lain.. - seperti 65% yang diobrolin itu soal arsitektur sisanya mungkin soal yang berhubungan dengan arsitektur, misalnya film. Di film ini settingnya bagaimana dan lain-lain.
Setelah 30 tahun berkarya, berpameran sebesar kemarin, apa berikutnya? Apa yang belum tercapai?
Saya masih berharap untuk bisa mendapatkan proyek Museum Contemporary of Art. Kalau bisa, seneng sekali. Ini masih jadi salah satu impian saya.
Punya rencana untuk pensiun ?
Tidak. Untuk apa pensiun kan saya tidak pernah ‘kerja’. (tertawa).
Di Hadiprana ada kaderisasi, bagaimana Mas Aang membayangkan kantor AMA ini soal kaderisasi ?
Kalau suatu saat saya meninggal, kantor ini hilang juga tidak apa. Tetapi jangan sampai waktu saya sudah tidak ada, anak-anak eks-kantor saya itu tidak bisa kerja. Saya ingin mereka minimal harus paham arsitek yang baik itu bagaimana, yang indah itu bagaimana, yang berguna itu bagaimana. Jadi apapun kantor mereka nanti, mereka tetap bisa jadi dirinya sendiri. Dan kalau mereka mau meneruskan kantor AMA ini, seperti kantor Zaha Hadid, ya tidak apa-apa juga. Terserah aja.
Namun saya juga tidak berencana untuk mewariksan kantor ini ke anak-anak saya misalnya, hanya karena mereka sekarang sekolah di jurusan arsitektur. Menurut saya tidak adil rasanya kalau mereka belum punya kemampuan yang cukup, dan tidak punya semangat seperti anak-anak di kantor yang sudah bekerja lebih dulu dan lebih lama. Jadi adilnya kalau mereka mau masuk bekerja di kantor AMA, ya mereka masuk seperti anak-anak kantor yang lain. Belajar dari nol dulu. Kalau misalnya mereka kemudian bilang tidak kuat dari bawah dan mau bikin biro sendiri, ya bikin aja biro sendiri. Tidak apa-apa.
© 2019 AMA .
© Photography by Martin Westlake, available from https://www.habitusliving.com
Serangkaian interview ini sudah dipublikasikan pada buku Prihal Andramatin. Publikasi pada Nenun Ruang dibagi menjadi 4 (empat): 01 - introduction, 02 - masa belajar, 03 - praktik awal, 04 - tentang biro Andra Matin. Selamat membaca!