Studio unit Semarang pada critical context tahun kedua menghadirkan sesuatu yang berbeda dari tahun pertama, namun tetap tidak terlepas dari tujuan semula untuk menjadikan kegiatan critical context ini sebagai wadah, kesempatan bagi mahasiswa untuk menyelami pemikiran-pemikiran kritis diluar dari metode pembelajaran studio yang selama ini diterapkan di institusi masing-masing.
Studio unit Semarang pada critical context tahun kedua menghadirkan sesuatu yang berbeda dari tahun pertama, namun tetap tidak terlepas dari tujuan semula untuk menjadikan kegiatan critical context ini sebagai wadah, kesempatan bagi mahasiswa untuk menyelami pemikiran-pemikiran kritis diluar dari metode pembelajaran studio yang selama ini diterapkan di institusi masing-masing.
Agenda utama yang dihadirkan oleh unit semarang pada tahun kedua ini adalah mengenai 'Rasa', yaitu lebih tepatnya adalah tentang memaksimalkan penggunaan panca indra lain selain indera penglihatan. Judul agenda yang disampaikan adalah “Nirmata”, yang dimulai dengan sebuah pertanyaan dan pernyataan, bahwa 'Apakah arsitektur hanya dinilai sebatas persoalan proporsi, skala, keseimbangan, irama keteraturan serta penilaian lain yang berdasarkan visual semata?'. Realitanya, penilaian mengenai arsitektur saat ini lebih banyak didominasi oleh aspek visual sebagai parameter utama. Namun hal ini bukan berarti proses perancangan dilakukan dengan cara menutup indera penglihatan, melainkan peserta diajak untuk menemukan sesuatu hal yang baru melalui penyelamanan pemikiran kritis dari pribadi masing-masing sebagai sebuah referensi, dan bukan dari apa yang selama ini direkam melalui indera penglihatan
Metode yang diterapkan pada agenda kali ini cukup berbeda dari tahun pertama. Dimana pada tahun pertama peserta hanya bertindak sebagai obyek pengamat, namun pada tahun kedua ini, peserta diharapkan juga berlaku sebagai subyek sekaligus obyek penderita dari setiap kasus yang ingin diangkat oleh masing-masing peserta. Subjektifitas dan sensitifitas pada agenda kali ini menjadi cukup tinggi, karena referensi yang harus ditemukan sebagai acuan perancangan harus berdasarkan 'Rasa’ yang diperoleh dari panca indera yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Ketajaman peserta untuk memahami dirinya sendiri merupakan langkah awal yang harus dijalankan. Hasil penyelaman terhadap diri sendiri ini diharapkan diwujudkan menjadi suatu ruang “diri sendiri’ yang terbentuk dari referensi pribadi masing-masing.
Pada awalnya menjadi satu kesulitan tersendiri untuk mengajak peserta menyelami pemikiran kritis mengenai dirinya sendiri. Namun proses ini membuahkan banyak hal menarik yang muncul dari kepribadian masing-masing. Salah satunya adalah Daniel, dimana pada awalnya Daniel selalu terjebak dengan referensi – referensi yang selama ini dilihatnya. Sampai pada suatu titik, Daniel mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah diceritakan yang tanpa sengaja terungkap melalui kumpulan hasil karya goresan tanggannya selama ini. Wujud ‘Nirmata’ dari seorang Daniel kemudian disebutnya dengan “Dunia di Sebelah Matamu “. Kisahnya seperti dibawah ini :
“ Nama saya Daniel…
Tidak banyak yang mengetahui bahwa kehidupan saya selama ini tidak jauh dari bullying yang harus saya hadapi dari keadaan disekitar saya..
Rasa sakit yang saya alami memang tidak terlihat secara fisik karena bullying yang saya hadapi tidak dilakukan secara fisik, namun indera perasaan saya yang mengalami pengaruh yang cukup besar…
Meskipun seringkali saya coba mengacuhkan perasaaan tersebut, namun terkadang saya tidak mampu dan membutuhkan suatu ruang sendiri untuk menghilangkan perasaan tersebut.
Apabila saya diminta menggambarkan ruang tersebut, yang ada di pikiran saya adalah sebuah dunia di sebelah mata saya, sebuah ruang dimana orang seolah dapat melihat keberadaan saya namun tidak dapat menyentuh saya dan melakukan apapun terhadap saya, atau ruang dimana saya dapat mengetahui keberadaan dunia disebelah mata saya tanpa orang lain di dunia tersebut dapat melihat, atau mengetahui kehadiran saya... “]
Itulah sepenggal cerita hasil dari penyelaman kritis pribadi seorang Daniel. Lain lagi halnya dengan yag disampaikan oleh Yoga. Salah satu peserta yang dilibatkan khusus pada critical context tahun kedua ini dikarenakan Yoga merupakan salah satu peserta berkebutuhan khusus, yaitu lebih tepatnya adalah seorang tunarungu. Dimana dalam kehidupan sehari-hari, indera penglihatan menjadi alat utama yang sangat penting digunakan olehnya untuk belajar menjadi seorang arsitek. Keterlibatan yoga didalam kegiatan tahun ini juga memiliki tujuan lain, yaitu untuk melihat hasil perbandingan hasil pemikiran antara peserta yang penggunaan indera penglihatannya seperti manusia rata-rata pada umumnya dengan peserta lain yang sangat visual oriented sekali. Kisah yoga adalah sebagai berikut :
“Nama saya Yoga…
Saya adalah seorang tunarungu, dimana pada awalnya saya terlahir normal..
Namun suatu keadaan sakit tertentu setelah saya lahir menyebabkan tingkat pendengaran saya berkurang sebelum saya sempat mendengar dunia dengan jelas. Sejak saat itu, saya sangat bergantung pada indera penglihatan untuk menjalani kehidupan sehari-hari…
Didalam lingkungan keluarga, saya tidak dibiasakan dengan penggunaan bahasa isyarat, tujuannya adalah agar saya lebih mudah, lebih fleksibel memahami dunia dsekitar saya melalui gerak bibir dan ekspresi orang-orang disekitar saya….
Kalau bicara ruang tentang saya, ada beberapa faktor yang terkait dengan hal itu, dimana kehidupan saya menjadi ketergantungan pada beberapa faktor yang terkait dengan indera penglihatan, seperti warna, cahaya, transparansi dari suatu material dan satu hal penting lain mengenai keterjangkauan penglihatan (visual range) saya.
Visual range yang saya maksud disini tidak hanya apa yang masuk dalam jangkauan pengllihatan saya, namun juga bagaimana saya mudah terlihat oleh orang lain. Contoh sederhananya adalah bagaimana di dalam kamar saya terdapat cermin besar yang menghadap jendela besar, dimana cermin tersebut merefleksikan keberadaan tempat tidur saya yang diletakkan dibawah jendela besar tersebut. Dengan demikian keluarga dirumah saya dapat mengetahui keberadaan saya didalam kamar tanpa saya harus merasa privasi saya terganggu. Sebaliknya saya juga dapat mengetahui kondisi diluar kamar melalui cermin tersebut…. “
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Daniel dan yoga. Terlihat dua hal yang kontras. Daniel menginginkan suatu ruang dimana orang lain tidak dapat melihat keberadaan dirinya, sementara Yoga sebaliknya, merasa nyaman di suatu ruang dimana dirinya dapat dengan mudah mengetahui keberadaan orang lain dan orang lain juga dapat dengan mudah mengetahui keberadaan dirinya.
Namun dari dua hal yang kontras tersebut ternyata menggunakan referensi yang sama untuk membangun ruang pribadinya masing-masing, yaitu dengan menggunakan media refleksi cermin dengan prinsip penggunaan yang berbeda. Daniel menggunakannnya dengan prinsip periskop pada ruang sejajar di level yang berbeda sehingga menghadirkan ilusi optik dimana seseorang di salah satu ruang dapat melihat refleksi dirinya berada di ruang lain dengan mudah namun tidak dapat menyentuhnya secara langsung, atau bahkan menghadirkan ruang dimana orang lain tidak dapat melihat keberadaan dirinya sementara dirinya dapat melihat keadaan orang lain di ruang tersebut.
Lain halnya dengan yoga, ruang yang dibangun pada level berbeda menggunakan konsep split level sehingga pengamatan dari ruang yang satu dengan yang lain lebih mudah. Media refleksi ditempatkan pada salah satu sisi yang memungkinkan untuk memperluas jangkauan penglihatan dari satu ruang ke ruang lainnya, seperti halnya prinsip kaca spion pada kendaraan.
Kesimpulan yang diperoleh dari kisah Daniel dan yoga pada critical context tahun kedua ini, salah satu keberhasilannya adalah bagaimana peserta mampu memulai dari referensi pribadi untuk membangun ruang pribadinya masing-masing. Meskipun pada proses penyusunan ruangnya, indera penglihatan tetap menjadi alat utama. Sementara pada kedua kasus ini, indera lainnya tidak dimanfaaatkan secara maksimal sebagai bahan referensi.