Efemera- Tektonika Keseharian

Ideas
1 year ago

Pada kegiatan Critical Context 2019 Studio Jakarta Unit 03, muncul dengan pertanyaan ‘Apa itu (Arsitektur) Efemera dalam Keseharian?’ bagaimana (Arsitektur) Efemera sebagai agenda kolektif yang mesti didalami sekaligus dikembangkan oleh peserta.

Design Education

Meski kematian adalah alamiah dan pasti dalam kehidupan, namun tidak menghalagi hasrat dan obsesi manusia untuk menaklukkannya. Harari (Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, 2015) menyebut tidak sedikit orang di dunia yang memimpikan hidupnya bisa terus abadi (not to die), melampaui segala tawaran kemewahan lainnya yang ada di dunia. Jika impian untuk hidup abadi belum bisa terwujud, setidaknya manusia punya pilihan: meninggalkan warisan/peninggalan (legacy) yang bisa terus abadi –dari generasi ke generasi, sepanjang masa.

Arsitektur adalah salah satu manifestasi hasrat terpendam menggelora tersebut. Arsitektur sebagai penanda ‘kokoh’ -tidak hanya atas suatu tempat namun  suatu masa/waktu- adalah bagian dari arahan rancangan yang umum diungkapkan atau hal yang sudah tahu sama tahu antara pemberi tugas dan arsiteknya. Agar hasrat dan ambisi ini ‘bisa terwujud’, arsitektur dirancang untuk kuat, kokoh, dan permanen. Inilah yang kemudian menjadi formalitas konsep dan praktik arsitektur.

 Di sisi lain, formalitas arsitektur yang kaku dan kejur juga cenderung elitis, sebab membangun arsitektur sebagai warisan abadi tak tergoyahkan, mensyaratkan kuasa, modal, serta sumber daya yang tidak sedikit. Dominasi arsitektur yang permanen, kaku, dan kejur pada akhirnya membatasi tumbuh kembangnya konsep, pengetahuan, serta praksis kesementaraan dalam arsitektur. Kesementaraan kemudian cenderung menjadi konsep pinggiran yang dalam ragam fenomenanya –karena tak mampu dipahami- kerap diberi cap sebagai sesuatu yang informal (baca: hal yang tidak resmi). Sebagai implikasi, kita kehilangan kesempatan untuk menemukan kemungkinan petunjuk jalan terkait menata keseimbangan sosial serta lingkungan/ekologis melalui arsitektur.

Pada kegiatan Critical Context 2019 kali ini, LabTanya -penyelenggara di Jakarta Unit 03- mengajukan ‘Apa itu (Arsitektur) Efemera dalam Keseharian?’ sebagai agenda kolektif yang mesti didalami sekaligus dikembangkan tiap peserta. Selama 10 (sepuluh) hari, 22 Juli - 2 Agustus 2019, peserta diminta untuk menelusuri fenomena kesementaraan dalam keseharian. Pasar di sektor 2 Bintaro Jaya, Jakata Selatan, dengan segenap kemeriahan namun juga banalitas kesehariannya dipilih sebagai situs spesifik.

Sepuluh hari kegiatan ini dibagi dalam tiga tahapan proses, (1) hipotesis, (2) eksplorasi, dan (3) translasi. Keseluruhan kegiatan dibayangkan sebagai suatu proses yang berjalan dari kekusutan serta ketidakmengertian untuk kemudian berangsur menjadi lebih ‘fokus’ dan lebih ‘jelas’.  Karenanya ketimbang berfokus menempatkan produk akhir sebagai tujuan, kegiatan ini mengajak peserta untuk menempatkan keseluruhan proses sebagai cara/alat untuk memahami (ways of knowing) sesuatu atau dalam pengertian yang lain, sebagai cara untuk memproduksi dan menyampaikan pengetahuan. Karenanya, sebagai tambahan catatan, pada kegiatan ini peserta tidak dibebani untuk menghasilkan solusi persoalan dalam bentuk apapun apalagi suatu karya bangunan.

Tahapan proses  di atas diharapkan mampu mengakomodasi transisi pembacaan fenomena dari bentuk yang abstrak untuk kemudian ditranslasikan pada sesuatu yang lebih material, dalam ragam medium dan bentuknya. Dalam konteks perancangan arsitektur, konsep penahapan di atas, diharapkan membantu untuk membangun jembatan yang lebih solid/kokoh antara perumusan/pemahaman atas masalah ataupun ide (yang abstrak) dengan kelengkapan rancangan bangunan (yang material). Hal yang dalam banyak kasus (setidaknya yang kami temui) di studio perancangan, sebagai dua hal yang seringkali terpisah ketimbang satu kesatuan yang utuh/penuh.

Pembagian waktu di masing-masing tahapan diharapkan juga bukan semata dilihat sebagai batasan namun terlebih sebagai kondisi yang bisa membantu tiap peserta untuk menyusun strategi juga prioritas dalam kompleksitas proses memahami ataupun produksi pengetahuannya. Terutama sekali, mengingat sepuluh hari bukanlah waktu yang panjang (apalagi cukup) untuk memahami efemera sebagai realitas atau esensi kehidupan.

Pada akhirnya, melalui kombinasi topik (efemera) dan pendekatan di atas, diharapkan peserta makin familiar dan berani mendekati hal-hal di keseharian yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang remeh, ‘gak’ penting, ‘sederhana’, di luar yang formil/resmi/baku, untuk kemudian mengabstraksikan, mengeksplorasi, serta mendalaminya lebih jauh, hingga pada akhirnya tidak gagap dalam mentranslasikan juga mengartikulasikannya sebagai pengetahuan dalam beragam bentuknya.

Critical Context Unit Jakarta 03 dengan tema efemera atau kefanaan dalam arsitektur telah memberikan kesempatan bagi para peserta untuk membedah fenomena sehari-hari yang kerap luput dari perhatian perancang, termasuk arsitek. Dalam proses membedah fenomena tersebut, efemera adalah kata kunci yang dianggap krusial, sehingga setiap fenomena yang ditilik dianggap penting daan mengandung pengetahuan baru tentang merancang. Hal ini terlihat dari upaya setiap peserta mengulik setiap fenomena yang mereka pilih.

Dalam proses hipotesis, para peserta menghadapi kompleksitas dari data-data sederhana yang mereka ambil di Pasar Modern Bintaro sektor 2. Kesulitan dalam mengurai dan mencari benang merah dari data-data yang ada nampaknya muncul karena para peserta belum terbiasa melakukannya. Adapun hipotesis yang dirumuskan juga belum kokoh. Belum terlalu banyak pertanyaan kritis yang muncul. Minimnya diskusi akibat kecanggungan satu sama lain untuk mempertanyakan dan mendiskusikan topik dapat menjadi salah satu penyebabnya.

Kerumitan dalam mencerap dan membedah fenomena yang dipilih terus dihadapi hingga lambat laun peserta menganggap lumrah hal tersebut. Dalam proses eksplorasi, para peserta berupaya lebih dengan menilik teori dari disiplin lain, mendiskusikan literatur atau karya populer yang dianggap relevan, dan bolak-balik mengambil data. Semua dilakukan dengan santai—mungkin sedikit pasrah—agar dapat mengabstraksikan fenomena yang ada.

Proses eksplorasi bisa tidak selesai jika para fasilitator tidak mengingatkan waktu yang disediakan. Mengetahui adanya kerangka waktu tersebut, para peserta kemudian merunutkan kembali segala informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan dan menerjemahkan abstraksinya dalam bentuk yang lebih berwujud (tangible). Kecenderungan untuk merancang sesuatu yang “melompat”—tidak terkait dengan proses sebelumnya—direduksi oleh fasilitator dengan menekankan beragam perspektif tentang tektonik. Tektonik dilihat tidak hanya sebagai konstruksi suatu karya arsitektur, tetapi juga beragam hal lain, termasuk suatu pertunjukkan, metode menyusun sesuatu secara struktural, dan sebagainya.

Related
168 Comments
A
Login to leave a comment. Sign In ?